Reposisi Hak-Hak Tanah Masyarakat Adat Falabisahaya

Oleh :

Amirudin Yakseb

Akademisi

Tanah merupakan salah satu unsur terpenting dalam kelangsungan kehidupan manusia, selain berfungsi sebagai objek pertanian dan objek sosial, tanah juga berfungsi sebagai objek ekonomis. Dalam masyarakat adat tanah dianggap sebagai bagian dari kehidupannya untuk dapat bertahan hidup, sehingga tanah merupakan harga diri yang pantas untuk diperjuangkan.

Kehadiran Negara dipercaya untuk dapat melindungi hak-hak masyarakat terutama masyarakat adat atas hak-hak tanahnya. Sehingga atas dasar Kepercayaan itulah kemudian negara diberi kuasa oleh rakyat untuk menguasai tanah dan dipergunakan
untuk kemakmuran rakyak bukan untuk di miliki. Artinya negara juga memiliki hak yang terbatas.

Singkat cerita, permasalahan hak-hak tanah atas masyakat di wilayah masyarakat di Indonesia juga terjadi pada masyarakat adat di Desa Falabisahaya Kecamatan Mangoli Barat Kabupaten Kepuluan Sula Provinsi Maluku Utara adalah suatu hal yang perlu di seriusi betapa tidak.

Tanah yang diperjanjikan dengan itikad baik oleh sejumlah masyarakat adat sejak tahun 1971 sampai dengan 1991 dengan PT. Mangoli Timbers Producers kini hanya gigit jari, sebab dalam perjanjian tersebut telah disepakati bilamana dikemudian hari HGB dari perusahaan telah berakhir dan tidak dilanjutkan maka apa-apa yang ada diatas kulit tanah dan tanah-tanah yang kosong
kembali pada pemilik tanah (tuan tanah) (Sumber : Salinan dokumen Hasil Rapat antara Pemilik tanah dengan pihak PT. Mangoli Timber Producers tanggal 12 Mei 1970)

Hingga kini, harapan masyarakat semakin pupus dengan ketidak jelasan status lahan tersebut ketika kehadiran beberapa perusahaan lain, yang sedang beraktifitas diatasnya yang tentu saja Pemda Kepulauan sula juga ikut terkesan membiarkan atau tutup mata adanya aktifitas – aktifitas diatas tanah milik masyarakat adat tersebut termasuk adanya dugaan pemuatan sejumlah aset peninggalan PT. Mangoli Timbers Producers yang berkisar milyaran rupiah oleh pihak-pihak yang belum jelas status kepemilikannya. Hal ini menambah catatan buruk konflik agraria di indonesia.

Dimana konflik agraria ini pernah diberitakan oleh CNN pada Minggu 24 September 2023 bahwa Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan sejak 2015 hingga 2023, telah terjadi 2710 konflik agraria dan berdampak pada 5,8 juta hektare tanah. (sumber : cnnindonesia.com).

Olehnya perhatian pemerintah daerah Kepulauan Sula sangat dibutuhkan dalam upaya untuk menyelesaikan permasalahan dimaksud sehingga tidak merugikan masyarakat. Terutama masyarakat yang terdampak selama puluhan tahun tidak dapat menikmati hak-haknya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *