PDPI Gelar Webinar Peringati Hari TB Sedunia, Usung Tema “Yes! We Can End TB”

FNJ Indonesia, Jakarta.- Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menggelar Webinar dengan Tema “Yes! We Can End TB”, Jumat (24/03/2023).

Webinar ini juga dirangkaikan dengan Konferensi Pers secara virtual (daring) dalam rangka memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia (World TB Day) yang jatuh pada tanggal 24 Maret 2023.

Hadir Dr.dr Irawaty Djaharuddin. Sp.P(K), dan Dr. Tutik Kusmiati, Sp.P(K), keduanya Narsum dari PDPI serta sambutan oleh Ketua Umum PDPI Prof. DR. Dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), FISR, FAPSR dan Sambutan kedua oleh Ketua Umum PPTI Raisis Arifin Panigoro, serta Pengumuman pemenang lomba Design Logo 50 tahun PDPI oleh dr.Alvin Kosasih, MKM, Sp.P(K) dengan moderator dr.Alfian Nur Rosyid, Sp.P (K).

Dalam sambutannya Prof. DR. Dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), FISR, FAPSR mengungkapkan, saat ini, Tuberkulosis (TB) masih menjadi ancaman kesehatan dunia. Paska pandemi terjadi peningkatan kasus TB di Indonesia.

“Sehingga pada tahun 2022 Indonesia menempati peringkat kedua negara dengan kasus TB tertinggi di dunia setelah India,” ujar DR Agus.

Ketum PDPI mengatakan, Indonesia telah berjuang dan berkomitmen untuk mencapai target dan strategi eliminasi TB nasional pada tahun 2030. Hal tersebut dilakukan melalui upaya menurunkan angka laju insiden TB menjadi 65 per 100.000 penduduk dan menurunkan angka kematian TB menjadi 6 per 100.000 penduduk.

“Kendati demikian masih banyak kendala yang ditemui di lapangan dalam upaya eliminasi TB,” ucapnya.

Lanjutnya, debagai salah satu penyakit katastropik yang memerlukan pembiayaan kesehatan tinggi, terdapat beberapa permasalahan yang dapat menghambat
upaya eliminasi TB, yaitu:

  1. Rendahnya case detection rate
  2. Angka keberhasilan pengobatan yang belum mencapai target
  3. Meningkatnya kasus TB Resisten Obat (RO)
  4. Tingginya angka morbiditas dan mortalitas TB dengan penyulit/ komorbid
  5. Rendahnya angka cakupan TPT pada ILTB

Sementara itu, DR. Dr Irawaty Djaharuddin, sp.P(K) selaku Wakil Ketua Pokja Bidang Infeksi mengungkapkan, bahea hal tersebut diperlukan upaya nyata baik dari anggota perhimpunan maupun masyarakat dan pemerintah dalam mengatasi permasalahan tersebut.

Upaya nyata PDPI dalam Penanggulangan TB dengan menerbitkan rekomendasi kegiatan, yakni:

Pertama, pada tingkat komunitas; melakukan edukasi pencegahan penularan; edukasi keluarga untuk mendukung pengobatan; menghilangkan stigma; Puskesmas dapat bekerjasama dengan Posyandu, Poskesdes, PKK,
Dharmawanita, tokoh masyarakat, pemuka agama, komunitas populasi berisiko, dan farmasi untuk skrining TB baik TB laten maupun TB aktif di wilayah kerjanya. Menggalakkan active case finding melalui pemberian penghargaan bagi kader atau nakes yang bekerja aktif pada penemuan kasus. Lomba inovasi penanggulangan TB tiap daerah, dan penghargaan untuk daerah yang berhasil menurunkan kasus TB.

Kedua, pada pelayanan primer/privat: memperkuat public privat mix; pemerataan penyediaan OAT, TPT, TST/mantoux ,TCM, BTA, dan foto
toraks di seluruh puskesmas (PKM) di Indonesia; mempermudah proses rujukan spesimen dari praktek swasta ke PKM atau RS pemerintah yang
memiliki fasilitas TCM; menggalakkan dokter/nakes dalam faskes untuk
mengikuti pelatihan TB; menyediakan formulir skrining gejala TB di depan
ruang praktek; mempermudah/menyederhanakan sistem pencatatan dan pelaporan (membuat sistem seperti peduli lindungi COVID-19 untuk TB);
pendampingan /couching dari dinas/STPI/kader untuk dokter praktek
mandiri dalam pelayanan TB; mempermudah akses rujukan BPJS jika
pasien TB memerlukan rujukan; peningkatan kompetensi dokter melalui workshop; pembuatan PPK TB untuk dokter layanan primer

Ketiga, Rumah sakit daerah: komitmen manajemen RS untuk pelayanan TB harus kuat dengan memfasilitasi penyediaan sarana dan pra-sarana serta
SDM yang diperlukan. Sarana dan prasarana minimal yang seharusnya tersedia di RS daerah adalah TCM, BTA, Mantoux test, foto toraks, dan kultur MTB. RS Daerah diharapkan memiliki layanan spesialistik yang diperlukan untuk tatalaksana TB dengan penyulit. komorbid; memiliki
layanan TB DOTS maupun TB RO, dan ILTB; Memiliki PPK dan CP tatalaksana TB serta komplikasinya; dan pada daerah yang geografisnya sulit merujuk diharapkan memiliki fasilitas ruang intensif untuk kasus TB berat. Tidak lupa juga memberikan insentif bagi nakes yang bertugas di
layanan TB baik berupa skrening kesehatan paru 1 tahun sekali,
peningkatan asupan gizi serta peningkatan remunerasi.

Keempat, Rumah sakit provinsi : RS provinsi diharapkan memiliki fasilitas lebih lengkap dari RS daerah dan dapat mengampu RS daerah untuk
meningkatkan pelayanan TB. Di RS provinsi diharapkan selain tersedia
kultur DST MTB, sputum TCM, dan LPA lini 1.2, juga diharapkan memiliki
alat diagnosis yang lengkap seperti foto toraks, CT scan, dan MRI. Tersedia
spesialis terkait konsultan infeksi, bedah, intensif care, rehabilitasi medik,
PA, dan mikrobiologi. Tersedia juga vaksin BCG, OAT dan TPT lengkap baik untuk TB sensitif maupun resisten obat. Memiliki layanan TB DOTS maupun TB RO dan ILTB. Memiliki PPK dan CP tatalaksana TB serta komplikasi dan yang paling penting memiliki Tim Ahli Klinis (TAK) dan
melakukan MDT kasus sulit berkala, serta memiliki ICU isolasi/khusus kasus infeksi.

Kelima, Rumah sakit pusat : Rumah sakit pusat diharapkan memiliki fasilitas dan
SDM terlengkap dalam pelayanan TB. Beberapa RS pusat sudah memiliki
pelayanan intervensi lanjut di bidang infeksi seperti bronkoskopi,
torakoskopi, VATS, bedah thorax, ECMO, dan lain sebagainya. RS pusat diharapkan memberi bimbingan/pendampingan kepada RSUD atau RS provinsi dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan TB. RS pusat juga dapat menjadi narasumber pelatihan terkait TB seperti TB DOTS/TB
RO/ILTB/ pelatihan intervensi untuk penyakit TB dan menjadi pusat
rujukan kasus sulit.

Irawaty mengatakan, seluruh kegiatan tersebut harus didukung oleh komitmen dari pemerintah,
stakeholder/pihak terkait, perhimpunan organisasi profesi, individu pelaksana,
sistem kesehatan yang baik, dan financing model yang memadai

Penanggulangan kasus TB di Indonesia adalah kewajiban dan tanggung jawab
kita bersama.

“Akhir kata semoga perayaan World Tuberculosis Day pada 24
maret 2023 dengan tema YESS…WE CAN END TB! merupakan suatu kemajuan
yang baik dalam penanggulangan TB di Indonesia pasca pandemi, sehingga
dapat mencapai eliminasi TB tahun 2030,” tutup Irawaty. ( )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *